Twitter University: Belajar dari Praktisi Kelas Dunia
Bagiku Twitter merupakan jejaring sosial yang mirip seperti ruang kelas. Kita bisa menjangkau orang dari berbagai lini profesi dalam hitungan detik. Kolom search terasa magis, karena satu pencarian mampu menghubungkanmu dengan beragam orang dengan spesialisasi dan topik yang diminatinya.
Melalui Twitter, aku menemukan circle sekaligus role model yang membuatku merasakan pengalaman belajar terbaik seumur hidupku dan membawa perubahan besar ke arah yang lebih baik. Mampu keluar dari masalah-masalah di hidupku, rasanya setara lulus dari sekolah terbaik di hidupku!
Long live, Twitter University!
Jadi, Twitter University adalah label yang kubuat sendiri untuk menggambarkan kultur knowledge sharing di Twitter. Tulisan ini juga aku dedikasikan kepada semua mentor yang telah berhasil memberikan pengalaman belajar yang memuaskan akal dan batinku.
Rasanya seindah itu, karena aku benar-benar sering merasa kesepian saat belajar. Pada saat itu, aku tidak menemukan orang dewasa di sekitarku yang mampu menjadi role model di bidang yang ingin aku geluti. Kuliahpun tak lantas membuatku menemukan sosok yang ingin kujadikan role model. Pokoknya hidupku stres setiap hari!
Aku merasa sangat beruntung bisa lahir di era ini. Karena melalui jejaring sosial, akhirnya aku bisa menemukan guru-guru yang kuhormati karena keindahan karakter dan keilmuannya. Guru sekaligus teman belajar yang kucari seumur hidupku.
Berikut beberapa subjek yang kupelajari dari guru-guruku di Twitter yang membawa perubahan yang sangat signifikan dalam hidupku, yaitu psikologi, strategi, teknik menulis, entrepreneurship dan etika desain digital.
Awal Mula Perjalanan Belajar di Twitter University
Semua berawal dari perjalanan belajar virtualku bertemu Nathaniel Drew seorang young film maker. Aku menemukan Nathan dan terinspirasi untuk mulai menjelajahi Twitter untuk kebutuhan e-learning.
Nathaniel Drew mengatakan: Jika kamu tidak menemukan teman diskusi, guru, mentor, atau circle yang cocok dengan nilai hidup yang ingin kamu cari, kamu tidak selalu harus cari di lingkungan sekitarmu. Kamu bisa mencarinya di buku-buku atau temukan orang-orang yang satu visi-misi denganmu di belahan dunia lain lewat internet.
Selanjutnya, ada Tristan Harris pakar etika desain google yang berkampanye tentang hijacked brain akibat penggunaan media sosial. Beliau mendorongku untuk melihat media sosial dari POV yang lebih luas. Jangan nurut aja sama fitur medsos! Begitu intinya. Dari situlah aku memperlakukan Twitter tidak sebagai jejaring sosial biasa, melainkan menjadikannya ruang kelas untuk belajar dan bertumbuh. Aku juga mulai membangun Linguistics Student Indonesia.
Entrepreneurship Menyelamatkan Jiwaku
Waktu itu usiaku 21 tahun, aku sedang frustrasi dan kehilangan arah. Namun, takdir mempertemukan aku dengan Gary Vaynerchuk seorang pengusaha dan investor di bidang media yang banyak berbagi pengalaman dan memberi motivasi. Beliau juga sering membagikan prediksi dan strategi digital marketing bagi para pengusaha. Contoh sederhana saja, Gary mengatakan bahwa pesimisme, kritik, dan keluhan orang lain adalah peluang dan kesempatan bagi kita. Untuk itu, kurangi mengeluh, karena keluhan dan komplain kita dapat menjadi kesempatan bagi orang lain.
Akar dari bisnis adalah mencari solusi dan penyelesaian masalah. Jika orang lain mengeluh tentang sesuatu hal, catatlah keluhannya. Hal itu dapat digunakan sebagai peluangmu menciptakan solusi yang bisa kamu jual kepadanya.
Gary juga mendorongku untuk berhenti insecure dan mengubah pemikiran bahwa kita bukanlah korban dari kehidupan ini, karena tidak ada bayi yang lahir ke dunia ini membenci dirinya sendiri. Jika sudah dewasa dan dia membenci dirinya, itu artinya dia terpengaruh dari orang di sekitarnya.
Lagipula, masalah yang kita alami itu tidak spesial, pasti di belahan dunia yang lain ada orang yang sudah pernah mengalami hal yang sama dengan kita dan menemukan solusinya.
Manusia bukan korban kehidupan, tetapi pembawa misi. Jadilah seseorang yang membawa nilai dan wawasan baru untuk orang lain. Pasar bebas (masyarakat) tidak peduli perasaanmu. Mereka hanya akan peduli, jika kamu bisa menyelesaikan masalah mereka.
Selain Gary, aku menemukan Jack Butcher. Seorang pengusaha digital product. Beliau mengajarkan bahwa kita harus selalu siap menghadapi ketidakpastian dalam hidup, karena satu-satunya yang pasti dalam hidup ini adalah ketidakpastian. Jack juga memberiku wawasan seperti jika kamu sudah berhasil menolong dirimu keluar dari masalah, maka tolonglah orang lain yang mengalami hal yang sama.
Kompleksitas Manusia dan Strategi Menghadapinya
Mendapatkan wawasan entrepreneurship menumbuhkan keinginanku untuk mengasah kemampuan psikologi dan strategi. Karena untuk bisa menolong orang, menjadi rock bottom sekaligus problem solver dibutuhkan jiwa yang kuat, tenang meskipun keadaan sedang sulit.
Tak lama, takdir mempertemukanku dengan Robert Greene yang pada saat itu baru saja meluncurkan buku pertamanya The Laws of Human Nature (2018). Aku mulai membacanya dan ketagihan. Aku membaca seluruh buku karyanya, seperti The 48 Laws of Power, Mastery, dan yang lainnya.
Ada satu bagian dalam buku Robert Greene yang menyebut bahwa manusia harus bisa bergantung dan mengandalkan dirinya sendiri. Tentu hal ini bertentangan dengan keyakinan yang kuanut. Karena di dalam Islam, ada konsep tauhid yang membuat seorang muslim memiliki fitrah / sifat alamiah (human nature) bergantung kepada Dzat yang lebih besar darinya, yaitu Allāh.
Dari situ, aku mulai membaca buku agama. Hanya di bagian ini aku tidak menemukan petunjuk dan ilmu lewat Twitter, melainkan mencari ilmu lewat Google Play Books tentang kitab fiqh yang ditulis oleh seorang ulama abad pertengahan, yakni Ibn Qayyim Al-Jauzy. Kubaca juga Qur'an dan Hadith. Maa syaa Allāh, Alhamdulillāh, segala pertanyaan kompleks tentang eksistensiku sebagai manusia, strategi menghadapi diriku dan orang lain, serta kekhawatiranku tentang manusia terjawab sudah. Sampai sini, bekalku jadi seimbang. Dunia dan akhirat. Hehe.
Terima kasih Robert Greene! Justru karena karya beliau, aku kembali mempelajari tauhid.
Selain itu, aku jadi memahami mengapa Rasulullah menyarankan kita untuk berwirausaha. Karena dengan berwirausaha kita bisa mengenal fitrah manusia dengan lebih baik. Apabila seseorang mengenal fitrah manusia dengan baik, hatinya akan senantiasa diliputi ketentraman meskipun keadaan sedang sulit.
One-Vision Circle and Dream Career
Hatiku kini terbebas dari kehampaan. Berkat Twitter, aku bisa menemukan guru sekaligus networking terbaik seperti David Kadavy, David Perell, Julian Shapiro, Nicolas Cole, Du, Sherry Ning, Shane Parrish, dan Simon Sarris. Bagiku, mereka semua bukan sekadar teman-teman impianku, tetapi juga role model dalam mengembangkan karierku saat ini.
Join the club!
Rasakan sensasi belajar bersama penulis kelas dunia di How I Write atau daftarkan dirimu di Write of Passage School sekarang juga!